Sesungguhnya perkataan “SETIA HATI” dengan singkatan SH, mengandung arti : Diri yang setia kepada Hati Sanubari yang bersumber/ selalu menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dijiwai oleh pengertian seperti tersebut di atas, Persaudaraan Setia Hati didirikan untuk menjadi wadah/ tempat bagi mereka yang menghayatinya dan bersedia untuk mengamalkannya dalam bentuk Persaudaraan yang kekal.
Pada dasarnya, hakekat tata hidup Persaudaraan Setia Hati adalah suatu usaha, untuk menciptakan suasana hidup rukun yang nyata, berlandaskan rasa kekeluargaan yang mendalam dengan pengamalan rasa cinta dan kasih sayang, peri-kemanusiaan dan budi pekerti luhur antara para “kadang SH” khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Falsafah hidup yang demikian tingginya, mustahil menjadi suatu kenyataan, tanpa dilakukan usaha penempaan diri yang memadai, yakni dengan latihan-latihan kejasmanian maupun kerokhanian serta kepatuhan pada semua peraturan tata-hidup Persaudaraan dengan iklas.
Karenanya bagi setiap “kadang SH” dalam usaha mencapai cita-citanya bersama, tiada pilihan lain kecuali melakukan dengan iklas dan sungguh-sungguh latihan kejasmanian, khususnya Pencak SH disamping senantiasa berusaha memahami dan menghayati falsafah SH, serta selalu berpegang teguh kepada janji/ sumpah SH (Panca Prasetya).
Sejarah Organisasi “S.H.”
Sebagai organisasi berdiri pada tanggal 22 Mei 1932 di Semarang Jawa Tengah dengan nama “Setia Hati” yang merupakan perwujudan ikrar bersama sejumlah kadang SH dari Semarang, Magelang, Solo, Yogyakarta dan lain-lain. Atas prakarsa saudara tua SH “Moenandar Harjowijoto” dari Ngrambe, Ngawi-Jawa Timur. Karena terdiri dari sejumlah kadang SH, maka disebut dengan nama Setia Hati Organisasi (SHO), yaitu orang-orang SH yang berorganisasi. Hadir pada waktu itu 50 saudara SH dan utusan-utusan, antara lain: Suwignyo, Sukandar, Sumitro, Kasah, Karsiman, Suripno, Sutardi, Hartadi, Sayuti Melok (R. Sudarso Wirokusumo, 1979:Stensilan). Karena Ki Ngabei Soerodiwirjo tidak dapat hadir dalam undangan tersebut, maka dipilihlah Moenandar Harjowijoto sebagai ketua Mental Spiritual ke-SH-an, tetapi jalan sejarah menjadi lain, ia terpaksa meninggalkan Semarang (kedudukan Pengurus Besar SHO di tahun 1933) untuk merawat ibunya yang sudah tua dan baru ditinggal wafat suami.
Persaudaraan Setia Hati (SHO) didirikan pada waktu benih kebangsaan (nasionalisme Indonesia) mulai tersebar luas dan diresapi oleh rakyat Indonesia, meskipun tidak disenangi oleh kolonialis Belanda. Kegiatan partai-partai yang mencita-citakan kemerdekaan sangat dibatasi bahkan dilarang. Tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap membahayakan kekuasaan Belanda di Indonesia, banyak yang di tangkap dan dipenjarakan (dibuang) ke Digul, Irian Barat. Akan tetapi, kaum nasionalis Indonesia tetap berjuang dan bergerak terus-menerus dengan berbagai cara, illegal maupun legal untuk mempersiapkan rakat memasuki fase perjuangan kemerdekaan dengan segala konsekwensinya.
Jikalau parta-partai politik yang terang-terangan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dilarang, maka dicarilah bentuk-bentuk organisasi yang lebih lunak yang tidak dilarang oleh pemerintah kolonialis Belanda, yang tetap dapat memelihara dan makin menyalakan api kemerdekaan yang terdapat di hati rakyat, meskipun secara terselubung. SHO merupakan salah satu bentuk organisasi perjuangan tersebut, suatu organisasi olah raga dan persaudaraan yang masih tidak dilarang, dengan mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang tidak berbau politik
Sebenarnya para pendiri SHO waktu itu, dari hati sanubari mereka bergolak cita-cita politik dan menginginkan kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Panca Dharma dan kalimat-kalimat serta rumusan-rumusan yang tercantum dalam Anggaran Dasar SHO dengan rapi dan lihai membungkus cita-cita kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, sekaligus merintis character dan nation building secara samara (dimata pemerintah kolonial Belanda), akan tetapi jelas dan tegas dihati kaum nasionalis Indonesia.
Karena perjuangan tidak dapat diketahui atau diramalkan kapan akan selesai, maka dituntut keberanian berkorban, keberanian menderita dan kalau perlu juga keberanian bertempur mati-matian, maka warga SHO digembleng lahir bathinnya dan diperlengkapi dengan senjata pencak SH yang tangguh. Bahwa dalam setiap perjuangan diperlukan persatuan yang kokoh & kuat, maka SHO berusaha untuk dapat menjadi wadah dan esuh persaudaraan diantara para anggotanya, sehingga jiwa persatuan dan rasa bersaudara terjelma akrab. Kiranya tidak tanpa maksud, jikalau para anggota SHO saling memperlakukan diri mereka sebagai “broeders” dan mungkin juga sebagai “wapen broeders” yang terikan erat oleh sumpah mereka masing-masing pada waktu memasuki Persaudaraan Setia Hati, apabila pihak Belanda dapat mencium maksud dan tujuan organisasi-organisasi perjuangan terselubung, semacam SHO waktu itu, maka pastilah SHO tidak akan panjang umurnya. Oleh karena itu, maka untuk masuk dalam Persaudaraan Setia Hati diperlakukan semacam penyaringan yang ketat melalui sistem kandidat yang berat dan lama, sebelum orang tersebut dapat diterima menjadi saudara. Rasa anti penjajahan walaupun tidak diindoktrinasikan, menjiwai para warga SHO. Perjuangan politik secara gerilya yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda menjadi pengetahuan umum dan disadari akan bahayanya dikalangan SHO, maka kerahasiaan cita-cita SHO yang sebenarnya harus dijaga dengan penuh kewaspadaan dan kesetiaan. Gerak langkah, perilaku dan budi pekerti tiap warga SHO dapat menjadi jaminan bahwa SHO akan berhasil ikut mengantarkan bangsanya memasuki fase perjuangan kemerdekaan yang dicita-citakan oleh patriot Indonesia.
Sementara itu, permintaan untuk dapat diterima menjadi saudara SH diluar Semarang terus bertambah, antara lain di Mataram Yogyakarta. Juni 1936 di Magelang, Jawa Tengah diadakan “Leiders Conferentie” untuk memurnikan kembali jurus-jurus SH yang mengalami penyimpangan dari aslinya. Tahun 1938 atas hasil musyawarah di Semarang, Pengurus Besar SHO dipindahkan ke Yogyakarta dan Alip Purwowarso dipilih sebagai Ketua.
Sesudah bangsa Indonesia benar-benar memasuki fase perjuangan fisik dalam revolusi kemerdekaan, akibat proklamasi 17 Agustus 1945, maka kerahasiaan perjuangan SHO tidak penting lagi. Suatu fase baru dalam taktik perjuangan, merebut dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan, telah pecah menjadi clash bersenjata secara terbuka, para warga SHO menjadilah pejuang-pejuang kemerdekaan, mendharmabhaktikan diri di segala medan perjuangan menurut bakat dan kemampuan masing-masing.
Sesudah rakyat Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang merdeka dan berdaulat, membangun Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, perjuangan nasional menjadi makin berat. Revolusi yang multi-kompleks ternyata meminta banyak pengorbanan. Di bidang diplomasi dan militer masih memerlukan waktu bertahun-tahun. Para warga SHO, seperti para warga Indonesia lainnya yang mencintai kemerdekaan dan yang berjuang untuk kelestarian Negara Republik Indonesia, juga mengalami ujian dan tantangan yang sama, merasakan suka dukanya perjuangan di berbagai bidang. Yang selamat berhasil melihat Republik Indonesia menjadi Negara yang merdeka dan berdaulat, yang kemudia diakui oleh seluruh dunia.yang kurang beruntung, gugur dalam membela cita-citanya sebagai pahlawan ataupun pejuang yang tak dikenal namanya, menghias Ibu Pertiwi. Sebagian lagi yang terlibat dalam perjuangan di medan pertempuran menghadapi musuh-musuh, dengan senjata seadanya (tombak, keris, atau bahkan hanya dengan bambu runcing), mengajarkan pencak SH kepada teman-teman seperjuangan yang bukan warga SHO, melanggar sumpah SH-nya demi kepentingan nasional yang dinilai berada diatas segala-galanya (seperti yang diajarkan juga oleh SHO).
Pada tanggal 18 Mei 1948 di Solo, terbentuklah organisasi nasional pencak silat bernama Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI), melibatkan saudara-saudara SH sebagai pelopor berdirinya IPSI bersama 15 orang tokoh-tokoh pencak silat yang antara lain dari aliran Minangkabau (Sumatra Barat) diwakili oleh Datuk Ahmad Madjoindo, aliran Sunda (Jawa Barat) diwakili oleh Surya Atmaja dan sisanya saudara-saudara SH antara lain Munandar Hardjowijoto, Rahmad Suronagoro, R. Marijun Sudirohadiprojo dan lain-lain serta Mr. Wongsonegoro sebagai Menteri PP dan K (Depdikbud).
Dalam konggres SHO ke-10 di Semarang, tahun 1954, Moenandar Harjowijoto dipilih sebagai Ketua Umum dan oleh kongres ditetapkan sebagai lambing, meskipun pada mulanya menolak, pada akhirnya diterima. Sesudah Moenandar Harjowijoto menjadi Ketua Umum, cara “anname” atau “keceran” diubah, maju selangkah yaitu penjelasan sebelum dikecer boleh dikatakan bersifat umum atau terbuka (sebelumnya hanya didengar oleh calon saudara baru dan saksi) dengan mengundang beberapa tokoh masyarakat dan undangan lainnya. Tanpa orientasi kepada masyarakat luas yang serba majemuk, kiranya tidak akan memperlancar tujuan SHO yang amat luhur dan mulia untuk diketahui bahwa, “ajaran atau falsafah SH bukanlah suatu ajaran ilmu klenik, akan tetapi suatu upaya pendidikan dalam membentuk manusia utuh yang berbudi pekerti luhur”.
Tanggal 27 Januari 1979, Moenandar Harjowijoto meninggal dunia dan dimakamkan di Ngrambe, Ngawi Jawa Timur. Almarhum Moenandar Harjowijoto meninggalkan pesannya yang juga pesan para leluhur bangsa Indonesia, yang telah sering didengar yaitu, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”, ini berarti bahwa seorang kadang SH yang mendapat kepercayaan harus berikhtiar sekuat tenaga agar memberikan contoh yang baik.